Sairul Nafsahu, MA.*
Senyuman yang engkau berikan kepada saudaramu adalah sedekah, demikian sabda baginda Rasullah Saw. Ucapan Rasulullah Saw. menginsyaratkan bahwa sekecil apapun pebuatan yang dilakukan oleh seorang hamba, akan selalu bernilai sedekah tak terkecuali senyum. Senyum adalah sebuah perilaku yang diajarkan oleh baginda Rasulullah. Senyum adalah ibadah yang di baliknya terdapat kebaikan yang bisa kita miliki. Begitu banyak kebaikan yang dapat kita peroleh jika dalam setiap detik kita selalu memberikan senyuman kepada setiap orang kita jumpai.
Kehidupan yang serba kompleks ini tak jarang membuat manusia bersedih. Kesedihan memang fitrah manusia, sebagaimana firman Allah “Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43). Tetapi, jika kesedihan yang menimpa seseorang membuatnya enggan untuk memberikan senyuman, maka kesedihan seperti ini akan membuat seseorang semakin lemah dan tidak bisa melakukan aktifitasnya dan itu bukan merupakan sifat seorang muslim. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah Saw. bersabda, bahwa mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah. Rasulullah seselalu memperingatkan kepada umatnya agar selalu kuat menghadapi musibah dan tetap tersenyum meskipun dihadapkan dengan berrbagai macam masalah dalam hidupnya.
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling banyak tersenyum. Abdullah bin al-Harits ra. pernah berkata “Saya belum pernah melihat orang yang lebih banyak senyumnya dari pada Rasulullah Saw,”(HR. Tirmidzi). Meskipun Rasulullah bertatus anak yatim piatu, tetapi beliau tetap menanmpakkan kebahagiaannya. Kesedihan hanya akan mengahancurkan kebahagiaan. Memberikan senyuman kepada orang lain adalah pemberian yang tak bisa dinilai dengan harta sekalipun. Karena memberikan senyuman dapat membahagiakan orang yang mendapatkan senyuman itu. Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw pernah bersabda, “Sesungguhnya kalian tidak bisa membahagiakan manusia dengan harta kalian. Akan tetapi kalian bisa menarik hati mereka dengan wajah berseri dan akhlak yang mulia,”(HR. Al Hakim).
Tersenyum tidak perlu mengeluarkan biaya. Tersenyum hanya butuh kemauan dari kita. Jika kita mau bersedekah, maka tersenyumlah. Karena Senyum dapat mencerahkan wajah kita. Membangkitkan aura kejeniusan yang tiada tara di wajah kita, dan membangkitkan kebahagiaan yang tak tergambarkan dalam diri kita serta mendatangkan seyum tuhan sehingga setiap senyuman yang kita berikan kepada orang lain penuh dengan pancaran cahaya dari tuhan. Seorang sastrawanKhalil Jibran pernah berkata, “Senyum ibarat pisau yang tajam. Ia dapat membelah hidup yang kaku.”
Tidak ada lagi alasan untuk tidak tersenyum. Senyum adalah hal yang indah dan menunjukkan sikap kasih sayang. Alangkah indahnya dunia ini jika orang di sekitar kita membalas senyuman kita. Istri tersenyum untuk membalas senyuman suaminya. Tetangga memberi hormat untuk membalas senyuman tetangganya yang lain. Seorang supir mengangkat tangannya untuk membalas senyuman penumpangnya. Para guru menjawab senyuman muridnya. Sehingga lambat laun senyuman menjadi budaya kita dan menjadi motivasi hidup agar selalu bahagia.
*Alumni Pondok Pesantren Modern Al-Syaikh Abdul Wahid (STAR 2005), saat ini berprofesi sebagai Guru di Pesantren tempat dulu ia menimba ilmu.
La Ode Chsunul Huluk, M.Sos*
Jika kita memandang lembaga pendidikan dari sudut pandang efektivitas dan efesiensi pasar, maka kita cukup sulit menolak wujud dari relasi bisnis hadir di sebuah instansi pendidikan. Apa wujud dari relasi bisnis itu? Ekonomi media melihat komodifikasi yang diinterpretasi sebagai pemanfaatan barang dan jasa terhadap kegunaannya. Sederhana kita menyebutnya, ada nilai guna dan nilai tukar. Artinya, pusat jajanan di sebuah lembaga pendidikan dapat dipahami sebagai hasil dari proses negosiasi komodifikasi yang terjadi di ruang kepala lembaga.
Kantin, warung photocopy, jasa parkir kendaraan, dan sebagainya adalah anak dari ketajaman pikiran ekonomi politik dalam memahami pangsa pasar dimana sesuatu akan berguna ketika mempunyai nilai tukar. Konsep dari ini selain komodifikasi, ada spasialisasi (Vincent Mosco). Jika kita melihat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai lembaga pendidikan, secara horizontal, kampus segera melihat keuntungan bahwa menciptakan koperasi di kampus selain memudahkan civitas akademika juga karena ada keuntungan pasar di sana. Sehingga, jelas bahwa pusat jajanan lain selain koperasi yang secara horizontal milik kampus, adalah bentuk tawaran kerjasama antara kampus dengan kelompok tertentu.
Masuknya jasa parkir kendaraan, kelompok pedagang, atau aktivitas bisnis ke dalam kampus secara legal tentu sangat menguntungkan. Kafe Cangkir dibangun untuk memberikan ruang pasar. Oleh nalar mahasiswa, ruang bisnis seperti ini dengan cepat dipahami bahwa orientasinya adalah profit. Selain kebutuhan ekonomi, kampus UIN Jakarta secara akademis meniscayakan mahasiswanya untuk berekspresi dan mengeksplorasi potensi mereka. Melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sangat menegaskan bahawa UIN Jakarta tidak hanya mengakomodir kepentingan bisnis saja. Di sini, kampus juga menyediakan wadah bagi mahasiswa berorganisasi secara prospektif.
UKM merupakan organisasi internal kampus yang mana segala konsekuensi dari aktivitas mereka ditanggung oleh kampus itu sendiri. Berbeda dengan organisasi eksternal kampus. Organisasi primordial ataupun organisasi pergerakan di luar kampus tentu terus membayang-bayangi mahasiswa. Mengapa? Organisasi primordial atau kedaerahan sangat dibutuhkan oleh mahasiswa khususnya dari luar daerah. Sejalan dengan oraganisasi pergerakan atau kita sebut HMI, PMII, dan IMM, juga dianggap sebagai komoditas penting bagi sejumlah mahasiswa untuk memenuhi hasrat mengembangkan dirinya.
Kedua oraganisasi yang bersifat eksternal tersebut memang relatif jauh dari ranah untung rugi bisnis. Meski demikian, tidak sedikit mahasiswa mengamini kehadiran organisasi eksternal dalam hal ini organisasi primordial (KMSU, Ikami Sulsel, Hippmib Buton, dll) maupun organisasi pergerakan (HMI, PMII, IMM, dll) untuk hadir di tengah-tengah mereka. Jika terjadi kecurigaan atau semacam penolakan oleh peraturan rektor/kampus terhadap organisasi eksternal untuk beraktivitas secara politik, tentu sikap itu bisa dinilai wajar.
Dalam situasi seperti ini, lagi-lagi kita perlu melihat sejarah dan fungsi organisasi eksternal di dalam kampus. Kader organisasi HMI, PMII, IMM, dll dapat berkembang secara masif bahkan aktivitasnya menembus ruang terkecil dan terbesar dalam kampus disebabkan etika komunikasi yang dibangun dengan sangat baik. Memahami konsep komunikasi organisasi secara komprehensif akan membantu kader organisasi dalam menjaga keseimbangan gerak sehingga isu-isu yang dapat diselesaikan secara bermartabat tidak perlu diolah berlebihan. Kita saksikan beberapa kali dalam perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) organisasi eksternal kampus selalu dijamu dengan baik hingga disediakan gedung terbaik oleh sebuah lembaga.
Ijab kabul peminjaman gedung untuk kegiatan organisasi eksternal hingga saat ini terlihat aman-aman saja selama maharnya cocok. Namun perlu juga disadari bahwa yang ditawarkan HMI, PMII, IMM, dll di kampus, bukan semata untuk kebutuhan perut saja akan tetapi orientasinya untuk menjaga keseimbangan berpikir atau sebut saja untuk kebutuhan rasio (pikiran). Sehingga, jika ada kecurigaan-kecurigaan yang tidak berasas terhadap organisasi, tentu akan ditentang habis-habisan oleh kader organisasi tersebut.
Materi kuliah banyak mengajarkan bahwa jualan roti dan jualan buku orientasinya berbeda. Namun akan menjadi sama jika buku yang dijual tidak lagi mementingkan kualitasnya. Secara ideal, HMI, PMII, IMM, dll tentu melihat tujuan utama jualan buku adalah untuk kekenyangan otak, bukan perut. Jika kampus tidak butuh organisasi eksternal sehingga dilarang beraktivitas secara politik di kampus, bagaimana mungkin menolak hasrat mahasiswa yang membutuhkan organisasi eksternal. Jika kampus memprioritaskan keinginan mahasiswa layaknya mahasiswa difasilitasi dengan baik oleh kampus, maka aturan rektor yang sudah final tentu harus ditaati.
*Alumni Pondok Pesantren Modern Al-Syaikh Abdul Wahid(Alumni El-Fata, 2008). Saat ini berprofesi sebagai Staff Ahli di DPD RI.
Sabir Laluhu, S.Sos.I*
Perjalanan lebih 6 bulan
masa 'pendidikan' beasiswa bahasa Inggris kelas conversation (percakapan)
keempat #Batch4 untuk jurnalis pada Euro Management Indonesia,
sejak 3 November 2017 hingga 15 Mei 2018, masih saja terngiang. Padahal masa
pendidikan tersebut kini sudah berlalu lebih satu bulan.
Saya menyebutnya masa
pendidikan dari pada kursus bukan tanpa alasan. Ada alasan utama penggunaan kata ‘pendidikan’ yang mendasari
itu. Karena, menurut saya, para jurnalis yang masuk dalam golongan #Batch4
melihat, mendengar, merasakan, dan mempraktikkan langsung keinginan, kemampuan,
keberanian, dan kebersamaan saat berbahasa Inggris.
Sepanjang lebih 6 bulan
masa pendidikan tersebut, saya mencatat ada sekitar 15 kali pertemuan dengan
dua kali midle-test dan satu kali final-test. Pengajar yang mengampu beasiswa
jurnalis kelas percakapan #Batch4 adalah Febrina ZLM. Miss Febrina, kami
memanggilnya. Boleh dibilang Febrina berhasil mencipatakan suasana dan membawa
para jurnalis berpacu dan terpacu menunjukkan keinginan, kemampuan, keberanian,
dan kebersamaan berbahasa Inggris.
Dalam setiap perjumpaan,
Febrina selalu menentukan dan membuat satu tema untuk dibahas dan diperdebatkan
para jurnalis. Tema tersebut harus dilihat dari sisi pro dan kontra. Dari catatan dan seingat saya, sedikitnya ada 4 kelompok dan
paling banyak 9 kelompok yang terbagi dua kutub, pro dan kontra.
Namanya juga kelas
percakapan bahasa Inggris, maka sudah pasti dalam segala aktivitas dan materi
di dalam kelas selalu menggunakan bahasa Inggris. Kadang kala bahkan juga acap
kali, saat para jurnalis secara spontan melontarkan kosakata (kata atau frasa
atau diksi) berbahasa Indonesia, Febrina memperbaiki dan menyampaikan kosakatanya dalam bahasa Inggris. Sering juga perbaikan dari
sisi tata bahasa (grammar) terjadi.
Sebenarnya bukan hanya
Febrina yang memberikan perbaikan atau menyampaikan masukan misalnya tentang
kosakata berbahasa Inggris, para jurnalis kadang juga saling mengingatkan dan
mengisi. Tujuannya tentu saja untuk kebaikan si
jurnalis yang menyampaikan presentasi mewakili kelompok atau yang menyampaikan
pendapat maupun yang menyampaikan sanggahan.
Materi yang dibahas dalam
setiap pertemuan, menurut saya, cukup berat dan cenderung baru bagi sebagian
jurnalis. Mungkin juga bagi saya. Misalnya perbandingan pendidikan di Indonesia
dengan di Finandia, pembatasan kebebasan berbicara
atau menyampaikan pendapat oleh pemerintah, hingga tentang apakah PBB lebih
memprioritaskan pengentasan kemiskinan dari pada perlindungan lingkungan.
Kenapa saya sebut cukup
berat dan cenderung baru? Karena sebagian jurnalis bukan berasal dari wilayah
pos liputan atau dari bidang keilmuan terkait materi yang dibahas.
Tapi apa boleh buat, semua
jurnalis yang ada dalam kelas percakapan #Batch4 harus siap dan bersedia. Setiap kelompok mempresentasikan materinya dengan logis, berdasarkan
data dan perbandingan, kemudian mempertahankan argumentasinya.
Dalam satu kelompok atau antara satu kelompok dengan kelompok lain pun, tidak
ada yang merasa paling dominan. Setiap anggota kelompok atau masing-masing
kelompok diberikan porsi waktu yang sama.
Materi yang dibahas,
diperbincangkan, dan diperdebatkan mungkin boleh berat. Tapi suasana kelas
nyatanya tidak kaku. Semua berjalan cair dan mengalir. Bahkan sering kali dan
terus menerus disertai canda, ledekan, dan tawa. Ya, kami selalu tertawa dalam
kelas ini. Demikian juga sang pengajar.
Di sisi lain ada materi
yang juga dekat dengan profesi jurnalis. Di antaranya tentang pemberian reward
para pekerja dengan job perks (bonus pekerjaan dalam bentuk barang atau bukan
uang). Berikutnya bahasan tentang pemilik media dan politikus peserta pemilu
sebagai pemilik grup media massa.
Kreasi dan Imajinasi
Sepanjang lebih 6 bulan
perjalanan beasiswa bahasa Inggris kelas conversation
(percakapan) #Batch4 untuk jurnalis hakikatnya
menuntut supaya para jurnalis berekreasi dan berimajinasi.
Maksud dari berkreasi itu
yakni para jurnalis menciptakan buah pikiran dengan berdasarkan perbandingan
dan data, berikutnya dipaparkan dengan logis atas materi bahasan pada setiap
pertemuan.
Para jurnalis juga dituntut
dan berupaya kreatif memilih padanan kosakata yang mudah dipahami baik diri
seendiri maupun jurnalis lain. Baik untuk materi setiap pertemuan, pembahasan
kelompok saat midle-test, maupun pembahasan terkait final-test masing-masing
pribadi jurnalis.
Daya nalar para jurnalis
juga terus berkembang dan kemampuan berpikir turut distimulus guna menangkap
setiap informasi dan gagasan yang ada.
Bukan hanya kreatif
sebenarnya, tapi setiap jurnalis mesti dan harus proaktif. Musababnya meski
pembahasan per kelompok, tapi penilaiannya tetap untuk masing-masing jurnalis.
“Meskipun
presentasinya untuk kelompok, tapi penilaiannya untuk
masing-masing orang. Jadi nilainya perorangan,” ujar Febrina dalam setiap kali
pertemuan.
Lantas bagaimana dengan
jurnalis dalam kelas percakapan #Batch4 berimajinasi? Kalau
yang ini lebih khusus terkait dengan midle-test. Febrina menyampaikan bahwa
setiap kelompok diwajibkan untuk membuat satu acara (konsep acara) yang
benar-benar baru dan menarik di Indonesia. Tentu saja setiap ide acara berbeda
antarkelompok. Seluruh rincian untuk masing-masing acara yang dibuat
masing-masing kelompok nantinya akan dipresentasikan dalam pertemuan
berikutnya.
Semua hal terkait dengan
acara tersebut harus dibuat bahan presentasinya secara detil, rinci, dan
sistematis. Presentasi terkait acara tersebut sedikitnya harus menjawab 5
pertanyaan utama. Satu, apa poin-poin yang sangat kuat (penting) dari ide utama
acara tersebut. Dua, apa saja pengalaman yang akan didapatkan sebagai daya
tarik bagi para pengunjung.
Tiga, bagaimana acara (ide)
tersebut dapat menghasilkan uang (pengasilan) untuk komunitas lokal. Empat,
bagaimana cara agar setiap kelompok mampu menarik para turis baik dalam negeri
maupun mancanegara. Lima, apa saja rencana-rencana untuk marketing dan promosi
acara tersebut.
Nah, setiap kelompok
kemudian berembuk untuk menyiapkan acara masing-masing. Tentu saja tidak
ketinggalan kelompok saya dengan tiga orang teman jurnalis lain (lupa kelompok
berapa). Kelompok kami bersepakat dan memutuskan untuk membuat acara ‘Borobudur
Blues Night’. Saya pun ditugaskan membuat poster atau pamflet ‘Borobudur Blues
Night’.
Selama satu pekan, saya dan
tiga teman dalam satu kelompok berembuk. Sampai-sampai kami membuat grup
WhatsApp sendiri. Di sela waktu itu juga, saya membuat poster dengan segala
rinciannya. Mulai konsep dan nama acara, kapan pelaksanaannya, pelibatan
sejumlah pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah, menggandeng para
pemilik UKM dan pengusaha lokal, nama-nama musisi nasional dan internasional,
hingga proses promosi dan marketing.
Tiba waktu presentasi
midle-test saat pertemuan Selasa 6, Februari 2018, menurut saya, masing-masing
kelompok tentu saja kaget luar biasa. Karena apa yang dibuat dan
dipresentasikan di luar dugaan dan tidak diperkirakan sebelumnya. Selain
‘Borobudur Blues Night’ yang digagas kelompok saya, ada kelompok lain yang
membuat dan mempresentasikan acara ‘Laser Batavia Music Festival’ dan ada juga
‘Giant Scientific Park’.
Gagasan dan konsep yang
disiapkan dan dipaparkan sangat luar biasa dan mencengangkan. Karenanya dari
presentasi midle-test, saya secara pribadi menyimpulkan bahwa masing-masing
kelompok sangat kreatif, inovatif, dan imajinatif.
Bahkan seingat saya, ketika
itu Febrina menyampaikan pernyataan bernada candaan, sangat bagus sekali juga
kalau acara (konsep acara) yang dibuat dan dipresentasikan setiap kelompok
tersebut benar-benar ada dan diwujudkan menjadi acara yang nyata.
Di sisi lain ada yang cukup
unik dari ‘kebiasaan’ berbahasa Inggris di dalam kelas. Kebiasaan ini rupanya
terbawa hingga ke luar kelas atau di luar lokasi kantor Euro Management
Indonesia. Bicara tentang ‘kebiasaan’ itu, ada kejadian lucu saat beberapa
jurnalis bersama Febrina, sang pengajar, nongkrong sambil makan bersama di
sebuah tempat di Jalan Ciking Raya.
Waktu itu dua teman kelas
jurnalis, Ali Sobri dan Stefani Ginting sedang memesan makanan di depan kasir
ke pelayan. Ali Sobri dengan santainya berbicara menggunakan bahasa Inggris ke
Stefani. Rupanya si pelayan restoran menatap dengan raut wajah heran ke arah
Ali Sobri. Saat kembali ke kursi dan meja makan yang kami tempati, Ali Sobri
menceritakan kejadian tersebut. Apa yang terjadi? Kami semua tertawa
terbahak-bahak.
Peradaban Berbahasa Asing
Para jurnalis yang sudah
mengikuti program beasiswa bahasa asing termasuk bahasa Inggris kelas
percakapan #Batch4 jelas mendapatkan manfaatnya. Kemampuan, keberanian, dan
kepercayaan diri para jurnalis dalam berbahasa Inggris jauh lebih meningkat.
Satu di antaranya tentu saja saya. Karena salah satu dasar keinginan saya
mengajukan diri sebagai pemohon beasiswa bahasa Inggris kelas percakapan
#Batch4 adalah ingin meningkatkan kemampuan, keberanian, dan kepercayaan diri
saat berbahasa Inggris. Ditambah lagi saya masih memiliki cita-cita dan
keinginan melanjutkan pendidikan Strata-2 (S2) atau Magister di luar negeri.
Langkah Euro Management
Indonesia dan Yayasan Pendidikan Eropa Indonesia (YPEI)
memberikan beasiswa bahasa asing termasuk bahasa Inggris bagi para jurnalis
(program kelas dasar, conversation, dan persiapan uji TOEFL/IELTS) patut
diacungi jempol. Karena tidak banyak lembaga memberikan beasiswa atau masa
pendidikan berbahasa asing termasuk bahasa Inggris. Boleh dibilang, Euro Management Indonesia dan YPEI adalah pelopor program
beasiswa atau kursus bahasa asing untuk jurnalis di Indonesia. Beasiswa untuk
jurnalis masuk dalam program besar, Program Beasiswa Gerakan Indonesia 2030.
Dari lansiran laman Gerakan
Indonesia 2030 dan Euro Management Indonesia bisa diketahui, bahwa penggagas
Program Beasiswa Gerakan Indonesia 2030 adalah Bimo Joga Sasongko. Bimo tidak
lain merupakan pendiri sekaligus Direktur Utama dan Chief Executive Officer
(CEO) Euro Management Indonesia.
Dalam beberapa kesempatan,
Bimo selalu menyampaikan, program beasiswa jurnalis memiliki sedikitnya dua
tujuan. Pertama, menjadikan para jurnalis dapat membuka cara pandang tentang
pentingnya menguasai bahasa asing. Kedua, memotivasi para jurnalis agar
berkeinginan melanjutkan kuliah ke luar negeri.
Dari dua tujuan tersebut,
menurut saya, pada akhirnya bermuara pada satu tujuan utama yakni membuat para
peserta beasiswa dengan sendirinya menciptakan peradaban berbahasa asing. Hal
tersebut bisa tergambarkan dengan melihat seluruh perjalanan beasiswa bahasa
asing, termasuk tentu saja program bahasa Inggris kelas percakapan #Batch4
untuk para jurnalis.
Di sisi lain, Euro
Management Indonesia dan YPEI tentu sebaiknya melakukan perbaikan dan
peningkatan program beasiswa khususnya bagi para jurnalis. Misalnya, dalam satu
atau dua pertemuan perlu kiranya ada native speaker atau penutur/pengguna
bahasa asli bahasa tersebut khususnya bahasa Inggris yang masuk menjadi
pengajar tamu dalam kelas percakapan. Karena dengan adanya native speaker, maka
para jurnalis peserta beasiswa kian termotivasi dan mendapat pengalaman
berbicara dengan penutur aslinya.
Untuk proses pengajaran
lebih khusus untuk beasiswa kelas percakapan jurnalis, mungkin diperlukan juga
terobosan berupa pengajaran kelas dengan kunjungan ke lembaga/instansi
tertentu. Terutama lembaga/instansi yang memiliki bahasa asli dan/atau
berbahasa Inggris. Karena hal ini akan mendorong kemampuan para jurnalis
mempraktikkan bahasa Inggris secara real-time dan saat itu juga.
Dari sisi materi setiap pertemuan,
materi yang ingin diperbincangkan tentu tidak terlalu berat-berat amat. Selain
itu juga bisa disesuaikan dengan unsur wilayah pos liputan atau bidang keilmuan
dari masing-masing jurnalis. Karena dari sisi ‘kedekatan’ dengan para jurnalis,
maka itu juga akan memudahkan.
Untuk batas kehadiran para
jurnalis peserta dalam satu kali pertemuan rasanya batasan minimum 15 jurnalis
perlu ditinjau ulang. Paling tidak batasan tersebut diturunkan hingga taraf 10
orang. Karena dengan batasan minimum 15 jurnalis cukup menghambat kelas
percakapan #Batch4 jurnalis. Beberapa kali pertemuan dibatalkan kemudian
ditunda karena batas minimum itu tidak tercapai.
Kalau batasan minimum 15
jurnalis masih tetap dipertahankan, maka komitmen antara Euro Management
Indonesia dan YPEI atau pengajar dengan masing-masing jurnalis penerima
beasiswa perlu diperketat. Artinya proses dan sistem calon penerima beasiswa
perlu ditinjau lagi.
Sebagai contoh, dalam
klausal penerimaan peserta beasiswa tercantum bahwa kalau peserta tidak hadir
dalam 3 atau 4 pertemuan, maka peserta tersebut dihapuskan dan dicabut status
penerima beasiswa bahasa asing secara otomatis.
Guna penyebarluasan
informasi dan menjaga hubungan baik dengan media massa, Euro Management dan
YPEI serta jajarannya sangat perlu melakukan kunjungan (roadshow) ke redaksi
berbagai media massa. Khususnya redaksi media massa asal jurnalis peserta
program beasiswa, baik yang sedang mengikuti kelas maupun yang pernah mengikuti
kelas. Waktu kunjungan bisa saat pendaftaran periode beasiswa dibuka atau saat
pelaksanaan kelas beasiswa atau selepas pelaksanaan kelas beasiswa usai.
Pada bagian akhir tulisan
ini, saya tetap berharap Program Beasiswa Gerakan Indonesia 2030 untuk para
jurnalis tetap dipertahankan dan dilanjutkan. Tidak hanya untuk kelas
percakapan (conversation) saja, tapi juga kelas bahasa Inggris dasar maupun
persiapan uji TOEFL/IELTS.
Karena dengan
keberlangsungan dan keberlanjutan beasiswa bahasa asing bagi para jurnalis,
maka Euro Management Indonesia dan YPEI turut menjaga dan merawat harapan,
keinginan, dan cita-cita para jurnalis lain yang akan jadi calon peserta
beasiswa.[]
*Alumni Pondok Pesantren Modern Al-Syaikh Abdul Wahid tahun 2005 (STAR Graduation) saat ini berprofesi sebagai Jurnalis Koran Sindo.
Sahabat-sahabat
IKPS yang mulia
Pada kesempatan kali ini, saya
selaku ketua ingin menyampaikan bahwa
kesediaan kita menerima amanat ini adalah sebagai jalan kita sebagai alumni
pondok pesantren untuk menghadirkan perkhidmatan yg lebih utuh dan paripurna
demi bangsa Indonesia pada umumnya dan
kota Baubau pada khususnya. Agar alumni IKPS tak lagi dipandang sebelah mata,
maka perlu adanya kontribusi dan peran
aktif kita di setiap lini kehidupan. Saya
sangat bersyukur karena semangat para alumni sangat luar biasa. Rasa haru dan bangga menyelimuti hati ini saat
melihat para alumni yang selalu bergerak aktif meski dengan segala keterbatasan
yang ada.
Semangat ini semakin
menggelora saat melihat alumni dengan
senyum terkembang menyambut dan siap mendukung perjalanan dakwah IKPS ke depan.
Kita menerima amanah ini dengan kesadaran penuh. Memang resikonya sangat besar
untuk kita semua secara pribadi. Kita kalau mau hidup tenang lebih baik menepi.
Namun, tali harus tetap terbentang agar menjadi penghubunga kita dengan
cita-cita yang dituju. Harus ada yang
siap menjadi “etalase” dengan segala resikonya.
Saya hanya bisa membaca al-fatihah
sebagai doa untuk para sahabat alumni yang rela meninggalkan tugas-tugasnya untuk
berjuang bersama dan mempersembahkan dedikasinya untuk umat. Kami hanya minta doa
kepada para alumni yang dari jauh. Semoga kami terus bekerja dalam ikhtiar ini.
Karena ikhtiar ini sangat tidak ringan. Kami tidak mau menggunakan kata sangat
berat, namun Allah Maha Adil, niat baik, proses maksimal, doa tak henti,pasti
akan berbuah kebaikan. Ini merupakan perjuangan jangka panjang, perjuangan
menjadikan IKPS dan mainstreamnya dalam gerak organisasi. Kami yakin para
alumni ikps dengan sikap kebersamaanya mampu menjadi perekat dan jembatan untuk
IKPS yang lebih baik. Saya secara pribadi, mengajak diri saya sendiri, para
alumni semua dan saudara- saudara tercinta, mari kita terus bergerak,
berikhriar untuk bangsa yg maju dalam keberkahan.
|